Bagaimana Implikasi teori disonan kognitif dalam pendidikan???
Kebutuhan untuk mempertahankan gambaran diri positif merupakan suatu motivator yang kuat, Covington:  1984. Banyak dari perilaku kita yang diarahkan menuju pemenuhan standar  pribadi diri kita sendiri. Sebagai misal, apabila kita yakin bahwa  kita adalah orang baik dan jujur, maka kita cenderung berbuat baik dan  jujur meskipun apabila tidak ada orang yang memperhatikan, karena kita  ingin mempertahankan gambaran diri positif. Apabila kita yakin mampu dan  cerdas kita akan mencoba untuk memuaskan diri kita sendiri bahwa kita  telah berperilaku cerdas dalam situasi pencapaian hasil kerja.
Tetapi  bagaimanapun juga, kenyataan hidup kadang-kadang memaksa kita berada di  dalam situasi di mana perilaku atau keyakinan kita bertentangan dengan gambaran diri positif kita atau konflik dengan perilaku atau keyakinan orang lain. Sebagai misal, seorang siswa yang ketahuan menyontek dalam suatu tes dapat membenarkan perilakunya dengan menyatakan (dan malah yakin) bahwa “setiap siswa lain melakukan” atau “guru  memberikan tes yang tidak adil, sehingga saya merasa tidak bersalah  kalau menyontek” atau menyangkal bahwa ia menyontek (dan benar-benar  meyakini kebohongannya)., meskipun banyak sekali bukti yang menyatakan  sebaliknya.
Teori psikologi yang menjelaskan tentang perilaku, penjelasan dan alasan yang digunakan untuk mempertahankan gambaran diri positif disebut teori disonan kognitif atau cognitive dissonance theory (Festinger, 1957).  Teori ini mengatakan bahwa orang akan mengalami ketegangan atau  ketidaknyamanan apbila nilai atau keyakinan yang dipegang secara kuat  tidak cocok dengan atau tertantang oleh keyakinan atau perilaku yang  tidak konsisten secara psikologis. Untuk mengatasi ketidaknyamanan ini  mereka dapat mengubah perilaku atau keyakinan mereka, atau mereka dapat  mengembangkan pembenaran atau alasan yang mengatasi ketidakkonsistenan  ini.
Implikasi teori disonan kognitif dalam pendidikan
Di dalam tatanan pendidikan, teori disonan kognitif sering berlaku pada saat siswa menerima umpan balik  yang tidak menyenangkan atas kinerja akademik mereka. Sebagai misal,  Tina biasanya mendapatkan nilai bagus tetapi kali ini mendapatkan nilai  50 untuk kuis tertentu. Nilai ini tidak konsisten dengan gambaran  dirinya sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Untuk mengatasi  ketidaknyamanan ini, Tina dapat memutuskan untuk belajar lebih giat lagi  untuk meyakinkan bahwa lain kali ia tidak akan mendapatkan nilai yang  rendah lagi. Di lain pihak ia bisa saja mencoba membenarkan nilai rendah  itu dengan berbagai alasan: “Pertanyaan-pertanyaan kuisnya mengandung  jebakan. Saya tidak sedang merasa sehat. Guru tidak  memberi tahu terlebih dahulu akan adanya kuis. Saya tidak  sungguh-sungguh mengerjakannya. Udaranya terlalu panas, “ dan berbagai  alasan lainnya. Alasan ini akan membantu Tina mempertanggungjawabkan  nilai 50 itu. Bila ia kemudian masih mendapatkan sederet nilai jelek  lainnya, mungkin ia akan berkilah bahwa ia tidak pernah mengerjakan kuis  mata pelajaran ini sejelek ini, atau guru itu pilih kasih pada anak laki-laki, atau guru itu pelit memberi nilai.
Semua  perubahan dalam pendapat dan alasan ini diarahkan untuk menghindari  suatu pasangan situasi tidak konsisten dan tidak enak, yaitu: “Saya  adalah siswa yang baik” dan “Saya berbuat jelek di kelas, ini merupakan kesalahan saya sendiri.”
http://eko13.wordpress.com/2008/05/31/motivasi-belajar-dan-teori-disonan-kognitif-serta-implikasinya-dalam-pendidikan/ 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar